Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:
Ketentuan di atas berlaku untuk nafkah secara umum. Baik itu nafkah lahir maupun nafkah batin.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai durasi diperbolehkan suami tidak memberikan nafkah bayin kepada istri. Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali satu bulan.
Imam Ibnu Hazm berpendapat demikian karena memahami bahwa siklus haidl perempuan terjadi setiap bulan dan perintah untuk menggauli istri pada ayat di atas dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang menunjukkan kewajiban.
Lain halnya dengan ulama lain yang tidak menganggap perintah di atas sebagai sebuah kewajiban. Sebagaimana Imam Syafi’I yang lebih memilih berpendapat bahwa batas waktunya maksimal 4 bulan. Pendapat tersebut dibuat berdasarkan ketetapan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab.
Pada masa itu, banyak lelaki yang pergi berperang meninggalkan istri mereka. Banyak sekali istri yang merasa sedih akan hal ini. Sesudah berdiskusi dengan Hafsoh, Umar kemudian memutuskan bahwa prajurit yang sudah bertugas selama 4 bulan di medan perang harus pulang untuk memberikan nafkah kepada istrinya, atau menceraikannya.
Kesimpulannya, jika melihat pada pendapat ulama, maka batas maksimal suami tidak memberikan nafkah batin ialah 1 bulan jika mengacu pada pendapat Imam Ibnu Hazm, dan 4 bulan jika mengacu pada keputusan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab sebagaimana dikutip oleh Imam Syafi’I di atas. Sumber